Kec. Sindang Kab. Majalengka
LEGENDA DESA (SASAKALA)
Pada tahun 1552–1570, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) memegang tampuk pemerintahan tertinggi di Kerajaan Cirebon. Pada masa itu pula, beliau aktif menyebarkan agama Islam ke berbagai wilayah. Salah satu daerah yang beliau singgahi adalah kaki Gunung Ciremai, tepatnya di Buyut Cibiru (sekarang Masjid Jami Desa Sangkanhurip).
Dalam menyebarkan ajaran Islam, Syekh Syarif Hidayatullah selalu didampingi oleh seorang ajudan yang dikenal dengan nama Mbah Sangkan. Setelah merasa cukup menyebarkan dakwah di wilayah tersebut, beliau kembali ke Cirebon. Namun, Mbah Sangkan memilih menetap di Cibiru. Di sana, ia bertemu jodohnya, seorang ratu bernama Nyai Endang Sari, keturunan dari Kerajaan Sindang Kasih. Setelah menikah, mereka mulai menata wilayah yang sebelumnya berupa hutan belantara menjadi sebuah perkampungan.
Sekitar abad ke-16, perkampungan tersebut diberi nama oleh Nyai Endang Sari dengan sebutan Kampung Garwana Ratu. Nama ini berasal dari kata garwana yang berarti istri dan ratu yang berarti penguasa perempuan. Sejak saat itu, kepemimpinan kampung berada di tangan Nyai Endang Sari. Setelah lama menikah, terjadi perdebatan antara Mbah Sangkan dan Nyai Endang Sari mengenai keyakinan masing-masing. Akhirnya, Nyai Endang Sari menghilang ke Gunung Embe, sementara Mbah Sangkan kembali ke Cirebon.
Setelah Kampung Garwana Ratu dikenal oleh masyarakat dari daerah lain, sekitar abad ke-18 datanglah sepasang suami istri dari Desa Parakan yang dikenal dengan julukan Bapak dan Ibu Bule. Karena kampung tersebut masih menyimpan keindahan alam dan kesuburan tanah, mereka menetap dan mulai menata kembali perkampungan yang sempat porak-poranda akibat perpecahan masyarakat. Kedua tokoh inilah yang pertama kali mengatur desa dan menjalankan roda pemerintahan secara sederhana.
Seiring waktu, mereka memiliki beberapa keturunan dan didatangi oleh pendatang baru, sehingga jumlah penduduk meningkat. Nama kampung pun berubah dari Garwana Ratu menjadi Desa Garawastu.
Pada masa itu, masyarakat Desa Garawastu mendatangkan seorang guru ngaji dari Desa Sindang bernama Sanusi, yang dikenal dengan julukan Kyai Syafii. Kyai Syafii kemudian menikah dengan seorang cucu dari Bapak dan Ibu Bule, dan mereka dikaruniai seorang anak bernama Hasan, yang juga dikenal dengan nama Tirtalaksana. Setelah dewasa, Hasan menjadi Kepala Desa pertama di Desa Garawastu.